Menjadi homeless part IV: Bali

in

Akhirnya sampai di bagian yang sudah mendekati akhir dari perjalanan menjadi homeless ini! Tulisan ini mungkin akan lebih panjang dari yang lain selain karena saya agak cukup lama disini (14 hari), juga di interval dua minggu tersebut saya tinggal di dua daerah.

Part 4.1: Pemogan

Minggu pertama dihabiskan di daerah Denpasar Selatan, tepatnya di daerah Pemogan. Untuk lebih tepatnya lagi, di daerah Gelogor Carik. Untuk beberapa orang, khususnya mungkin untuk warga Bali asli, mungkin nama tersebut cukup familiar :))

Disini saya menumpang di tempat tinggal teman saya yang menyebabkan penghematan ~3jt yang seharusnya bisa digunakan untuk hal lain. Saya berencana untuk murni berlibur di Bali namun ternyata kenyataan berkata lain, seperti biasa. Di hari pertama, saya mendapatkan kabar dari Apple Developer jika aplikasi pertama saya ditolak, dan dengan sedikit revisi, akhirnya diterima di hari kedua dan sekarang sudah berada di App Store!

Merilis aplikasi saya di Bali adalah salah satu tujuan saya pergi kesini, dan ternyata terwujudkan. Malam pertama di Bali dihabiskan dengan menikmati suasana pantai dari Discovery Mall sambil bertukar cerita dengan teman. Kebetulan teman saya yang ini adalah kakak kelas saya dulu di sekolah dan juga teman seperjuangan saat sama-sama kuliah di Bandung, jadi lumayan sangat dekat.

Hari kedua saya habiskan di Fore (duh) simpang enam sambil merevisi aplikasi saya untuk Apple Developer. Saya mengajak teman ormas (si Kevan) setelah sekian lama tidak berjumpa. Hari ketiga aplikasi saya diterima dan saya menghabiskan waktu di Beachwalk dan pantai Kuta. Hari keempat bertemu dengan teman-teman sesama software engineer (bli Kresna dan kenalan baru si Marvel) di Soto Ayam Surabaya dan hari kelima saya bertemu dengan kenalannya teman saya, panggil saja dengan nama Cita. Saya rasa minggu ini cukup sibuk dan jika saya rangkum dalam foto, berikut galerinya:

Untuk tempat kopi seingat saya cuma di Volken Coffee (ga ada foto), Arabica dan the og Fore. Tempat ngopi lain buat santai paling di Kopi Kenangan (duh) dan Ten%. Pantai yang saya kunjungi hanyalah Double Six dan Kuta,

Sempat ingin pergi ke Uluwatu tapi ternyata realita berkata lain.

Part 4.2: Kuta

Minggu kedua di Bali dihabiskan di daerah Kuta (sekitaran Sunset Road), dan disini tidak banyak yang dilakukan, sebagian besar untuk bersantai. Tapi jika ingin berlibur ke Bali dan ingin mengarah ke pantai, saya rasa daerah Kuta adalah daerah yang sempurna.

Selain dekat dengan Sunset Road, tempat saya menginap dekat juga dengan Jalan Dewi Sri. Jalan Dewi Sri menurut saya adalah surga untuk mencari makanan, bahkan ada Dewi Sri Foodcourt bagi yang kurang suka makan langsung di pinggir jalan.

Ada beberapa tempat yang saya kunjungi: Inlaws Coffee (tempat kopi, dekat dengan penginapan) dan satu tempat random: Toys Bar&Longue (TBL). Nongkrong di Inlaws Coffee akan terlihat daerah macetnya Bali. Dan di TBL? Ini kali pertama saya mengunjungi tempat ini.

TBL intinya adalah sebuah toko yang menjual apapun seputaran anime, seperti action figure; cardpack, dan apapun yang dikoleksi oleh Otaku. Di lantai 2 adalah ruang karaoke, di tempat ini gratis cosplay jika menyewa karaoke setidaknya 2 jam. Saat masuk ke tempat ini saya rasa ekspektasi saya terlalu tinggi; di lantai satu (toko) hanya tempat jualan tapi ada mini bar. Saya memesan 3x heineken yang seharusnya akan lebih murah jika saya membeli ukuran tower.

Staff nya ramah dan asik, beberapa kali diajak mengobrol singkat sambil menemani saya minum. Menariknya tidak ada perbincangan seputaran anime, yang padahal, saya sudah menyiapkan jaga-jaga bila ditanya hahaha. Di longue nya ada bantal dan selimut untuk digunakan, karena tempatnya lumayan dingin. Sayangnya (untuk saya), tidak bisa merokok di lantai satu, jadi saya beberapa kali keluar hanya untuk menghisap tembakau.

Pulang dari TBL berakhir dengan kepala yang sedikit pusing tapi kentang :))


Sekilas saya cukup nyaman tinggal di Bali dan jika ditanya apakah saya ingin tinggal lama di Bali, besar kemungkinan jawabannya adalah iya, haha. Disini saya rasa orang-orangnya menerapkan slow living, apalagi mungkin jika di daerah Canggu. Daerah padatnya saya rasa tidak seperti di kota-kota besar di pulau Jawa yang entah bagaimana terasa sangat khas.

Saya yakin beberapa menjadikan Bali sebagai destinasi untuk bersenang-senang. Kehidupan malamnya cukup oke, makanan & budaya nya cukup oke khususnya untuk warga lokal, dan biaya untuk hidupnya juga relatif lebih kecil dibandingkan tinggal di kota besar. Saya sedikit penasaran bagaimana jika di Canggu, yang saya rasa mungkin lebih tentram, yang mungkin cocok untuk yang mencari kedamaian. Saat mencari penginapan, saya kepikiran apakah yang ingin saya cari kedamaian atau keramaian, and you know the answer 😀

Pergi ke pantai setiap ingin karena dekat tentu terasa sedikit membosankan. Tapi saya rasa akan berbeda jika, apa sebutannya, mencari momen? Menikmati pantai dengan teman lama sambil bertukar cerita terasa mengasyikkan, tapi di kali kedua dan ketiga? Tanpa suara ombak pun seharusnya cukup. Melihat pasangan menikmati ombak dan sunset pun terasa membahagiakan, mungkin akan lebih bahagia jika menjadi yang dilihat? Who knows.

Besok tanggal 30 dan saya harus kembali ke pulau Jawa. Apa setelahnya? Entahlah, saya penasaran apa yang akan terjadi di hari Senin.


Tadinya di minggu kedua saya berencana pergi ke Lombok. Pilihannya ada dua: pergi naik kapal dengan tujuan Mataram atau terbang naik pesawat dengan tujuan Lombok Tengah. Sayangnya saya tidak memilih keduanya dan malah memilih Kuta karena suatu alasan.

Ingat bila saya menggunakan dating apps di setiap destinasi yang saya kunjungi? Sepertinya saya sudah tidak perlu menggunakannya. Dan bukan, bukan karena cerita yang itu, tapi karena saya rasa saya sudah tidak perlu mencari lagi. Disini saya match dengan beberapa orang Bali yang kebetulan muslim, dan yang paling menarik, ada satu yang ternyata dari Mataram dan “perjalanan” berkenalan dengannya sudah lumayan jauh.

Sayangnya, saya baru berkomunikasi dengannya melalui perpesanan instan, tapi saya rasa, saya sudah menemukan beberapa kecocokkan — saya sengaja menggunakan kata ‘saya’ daripada ‘kami’ untuk menghindari asumsi yang tidak perlu haha. Anggap orang ini bernama Ren, dia adalah seorang Data Engineer dan saya baru tau setelah komunikasi keluar dari aplikasi kuning. Dia orangnya periang, humoris, dan saya rasa mahir dalam menjalin komunikasi. Saya tidak terlalu menyukai hubungan (komunikasi) daring tapi saya rasa Ren layak untuk di… apa sebutannya?

Walau belum berkenalan selama 100 jam, saya merasa sudah kenal Ren sejak lama. Dia orangnya cukup terbuka dan eksplisit, yang adalah dua sifat yang saya suka. Secara umur dia lebih muda setahun dari saya, dan di beberapa kesempatan, saya merasa ‘setara’ berkomunikasi dengannya.

Keinginan untuk pergi ke Lombok menjadi bertambah karena mendapatkan alasan baru: bertemu Ren. Tapi berarti, Lombok tidak menjadi ‘tempat baru tanpa orang yang dikenal’ yang sebelumnya saya tetapkan. Alasan saya tidak pergi ke Lombok adalah karena Oktober saya harus berada di pulau Jawa, setidaknya di tempat yang cukup terjangkau antara Serang-Jakarta-Bandung untuk sebuah urusan. Urusan saya di Jakarta tinggal barang-barang saya yang masih dititipkan di loker PopBox dan beberapa barang yang saya titipkan di teman (saudara).

Urusan di Bandung? Semoga ada kabar baik yang bisa dibagikan di bulan Oktober!


Saya cukup nyaman dengan gaya hidup sekarang, yang seharusnya bisa disebut sebagai nomaden. Saya menggunakan “homeless” karena saya rasa belum bisa disebut sebagai nomaden entah bagaimana. Saya mempelajari jika ada istilah lain dari nomaden: Slow Nomad (Slowmad). Yang gampangnya, jika nomaden “biasa” cenderung berpindah setiap minggu atau dua minggu, slowmad bisa berbulan-bulan bakan bertahun.

Slowmad secara biaya seharusnya lebih kecil mengingat lebih sedikitnya di pengeluaran perjalanan yang pada akhirnya pemasukan tetap mengalir. Dan jika dipikir-pikir, saya sudah menjadi slowmad meskipun masih dalam cakupan domestik haha.

Di gaya hidup seperti ini, saya tidak terlalu memusingkan banyak hal. Yang paling pertama, dari barang yang dipelihara. Yang kedua, pakaian. Ketiga, dalam bersosial. Saya selalu terbuka bertemu dan berkenalan dengan orang baru, baik untuk jangka pendek ataupun jangka panjang. Tentu melakukan solo traveling terkadang merasa kesepian, tapi tidak traveling pun saya tetap kesepian anyway 😀

Hari ini cek rekening ternyata sisanya masih diluar perkiraan saya. Mungkin karena penghematan di minggu pertama dan kebetulan tiket DPS-CGK dibelikan oleh teman saya yang lain sebagai usaha mengembalikan pinjaman, meskipun masih jauh dari total pinjaman HAHAHA.

Saat melihat saldo rekening dan tabungan khusus yang disiapkan untuk berpergian, sepertinya part 5 bukanlah hal yang tidak mungkin. Tadinya budget untuk berpergian ini (JKT-BDG-YK-SUB-DPS) ingin digunakan untuk solo traveling ke Jepang selama dua minggu, tapi karena kurangnya kesiapan khususnya di ketersediaan paspor, saya urungkan untuk tahun ini. Dan dari yang saya pelajari, warga Indonesia sudah bisa mengunjungi Jepang bebas visa selama sudah menggunakan e-paspor dan dengan maksimal kunjungan 15 hari.

What’s next?

Ada “acara penting” di akhir Oktober dan awal November dalam hidup saya yang harus terjadi di pulau Jawa atau khususnya di provinsi Banten, untuk urusan perihal keluarga thing. Dan meninggalkan pulau Jawa untuk dua bulan kedepan saya rasa tidak efektif.

Di lain sisi, saya masih menganggur. Tinggal di rumah orang tua membantu tapi pasti ada kekhawatiran dari orang tua saya. Untuk tinggal di Jakarta sayangnya saya sudah benar-benar tidak ada urusan. Di Bandung? Setidaknya ada adik saya yang anggap sebagai bentuk menjaga & mengayomi adik hahaha.

Untuk perihal survival, setidaknya tabungan saya masih bisa membantu sampai 2 bulan kedepan jika berdiam di satu tempat. Dan masih ada aset cair lain jika memang harus digunakan, dengan catatan, hanya jika saya ingin menghabiskan segala hal yang saya simpan untuk bertahan hidup haha.

Salah satu goals dari sabbatical saya—merilis aplikasi iOS ke App Store—tercapai dan saya siap melanjutkan ke rencana saya berikutnya. Ada kemungkinan 50:50 untuk dapat hidup dari “perjudian” ini tapi ini lebih tidak terduga dibandingkan saya memiliki pekerjaan penuh waktu lagi. Setidaknya goals pertama menjadi batu loncatan saya untuk berkarir di pekerjaan ini, yang rencananya ingin saya gunakan untuk berkarir di kancah iNteRnaSiOnaL yang tentu saja karena alasan uang.

Di lain sisi lagi, saya sudah memulai eksekusi rencana backup. Murni hanya karena saya tidak sabar haha. Entahlah, semoga selaras dengan gaya hidup saya yang sekarang.

Karena besok “pulang”, mungkin menjadi waktu yang tepat untuk menyelesaikan urusan yang belum selesai. Dimulai dari membawa pulang barang yang saya rasa saya cukup optimis untuk bisa hidup dengan satu tas punggung dan Steam Deck sampai ke meninjau ulang barang-barang yang harus saya masukkan ke tas punggung.

Yeah, sepertinya saya suka berpindah-pindah tempat tinggal!

Sebagai penutup, mungkin saya ingin sedikit bercerita ke orang random di internet. Orang tua (atau lebih tepatnya mamah saya) sepertinya kurang setuju dengan gaya hidup yang sekarang dan ini sangat-sangat dipahami: di umur saya yang sekarang 27, apa yang seharusnya mereka lakukan? Mamah saya sedikit sensitif jika saya menyebut dengan “menghabiskan uang” daripada “berlibur” dan pada dasarnya saya tidak melakukan “liburan” juga (apapun arti liburan tersebut). Dan yang saya pahami, pasti mamah saya berpikir ke satu hal: tabungan seharusnya digunakan ke hal lain, yang pastinya kita tahu apa.

Tahun ini salah satu teman dekat saya resmi menjadi bapak, dan yang satu lagi, akan menjadi suami. Saudara (sekaligus teman dekat saat kecil) pun sudah mempersiapkan hal serupa dan akan memiliki keluarganya sendiri. Melihat ke feeds di Instagram, terkadang saya kepikiran apakah ada yang salah dengan daftar mengikuti saya atau malah di kehidupan saya.

Salah satu hal yang sulit namun mandatory dalam memulai pernikahan adalah menemukan calon, dan you know the answer. Ya, tidak dipungkiri jika kehidupan setelah pernikahan menyenangkan, maksud saya, apalagi tujuan lain dari hidup setelah berkarir? Dalam menjadi bapak? Pria mana yang tidak ingin menjadi bapak.

Saya tidak menganggap pernikahan menjadi tenggat waktu. Pernikahan seharusnya menjadi momen bahagia yang dinanti dan bukan untuk ditakuti. Lalu apakah saya bahagia menjadi single? Tentu. Apakah saya merasa kesepian? Tentu saja. Apakah saya ingin memiliki hubungan? Mengapa harus tidak. Namun terkadang saya mengira-ngira apakah “bagian kosong” ini adalah karena saya merasa belum cukup atau karena saya ingin lebih.

Singkatnya mungkin saya ingin menemukan apakah; kenapa, kapan, dimana dan bagaimana saya menikah, yang mungkin perihal waktu yang bisa menjawab. Bukan tanpa alasan saya menggunakan kata “menemukan” daripada “mencari” karena, maksud saya, apalagi yang dilakukan oleh seseorang berumur 27?

Jam sudah menunjukkan 00:08 WITA dan saya harus checkout sebelum jam 12 hari ini ditambah belum mengemas barang-barang yang harus dibawa juga. Mungkin saya perlu mempersiapkan jawaban juga saat “pulang” nanti, tapi untuk sekarang, terima kasih telah mengikuti perjalanan saya menjadi homeless sampai ke part 4!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *