“Bite sized”

in

Saya tidak terlalu ingat keseluruhan cerita dari Percy Jackson and the Olympians tapi saya ingat betul jika dulu saya menikmatinya. Saya dulu sekolah di Pesantren, dan setiap harinya, bahkan jam, sudah ada jadwalnya. Lingkungan pesantren relatif ketat dan disiplin, jika ketahuan tidak mengikuti jadwal, siap-siap mendapatkan hukuman dengan tujuan agar menjadi jera.

Di sela-sela kehidupan pesantren yang monoton dan sesuai jadwal, saya mencari pelarian untuk melawan kebosanan. Salah satunya adalah membaca novel. Novel adalah barang “makruh” di pesantren, berbeda dengan komik yang dianggap “haram” dan akan disita jika ketahuan membawa. Novel bisa dibaca kapanpun selain waktu persiapan ujian dan waktu belajar malam, dan tentu saja, saya melanggarnya.

Saat membaca series Percy Jackson yang saya dapat saat ada bazar buku, saya tenggelam ke dunia alternatif. Dunia yang tidak ada bunyi lonceng ataupun teriakan pengurus, hanya mitologi Yunani dan Romawi, di alam semesta lain.

Berjam-jam saya tersesat di alam semesta tersebut; mata melihat kumpulan kata, tangan sibuk mengganti lembar demi lembar kertas, dan pikiran? Sibuk menggambarkan kumpulan paragraf yang saya baca. Satu-satunya yang menghentikan saya adalah penerangan, atau pengurus yang menemukan saya di sebuah tempat bernama loteng.


Hari ini, saya rasa relatif sulit untuk “memusatkan pikiran” bahkan hanya untuk 15 menit. Saya duduk diatas karpet di kamar saya dan tidak melakukan apapun, hanya melihat kedepan dan mengajak ngobrol pikiran. Jika tanpa membakar rokok, kurang dari lima menit saya akan beranjak dari duduk dan kembali ke depan laptop atau mungkin layar ponsel. Entah mencari apa.

Disamping itu, hari ini arus informasi relatif lebih cepat dari apapun. Jika dulu informasi dicari, sekarang ditemukan, berkat fitur “For You”, “Discover” atau apapun itu.

Namun ada satu hal yang menurut saya sangat menarik. Ini bukan berdasarkan riset ataupun studi, murni sebatas pengalaman. Mungkin riset atau studi tentang hal itu ada, tapi saya tidak membahas tentang itu, dan semoga relevan.


Dimulai dari microblogging. Ini adalah tentang blogging dalam format yang menggunakan postingan pendek dan umumnya tanpa judul. Hari ini hampir setiap orang melakukan microblogging, umumnya di sebuah tempat bernama “sosial media”.

Salah satu format postingan dari microblogging yang lumayan populer adalah “rangkuman” yang biasanya menggunakan format seperti berikut:

  • Baris pertama membahas tentang keseluruhan topik dalam satu baris
  • Baris kedua membahas tentang alasan mengapa harus peduli dengan baris pertama
  • Baris ketiga membahas tentang daftar topik yang perlu diketahui dari baris pertama

Jika misalnya topik tersebut tentang ChatGPT versi terbaru, berikut gambarannya:

OpenAI baru saja meluncurkan model ChatGPT 69 dan akan merubah cara manusia bekerja selamanya.

Namun kebanyakan orang tidak mengerti bagaimana cara memaksimalkan model ChatGPT terbaru tersebut.

Berikut 8 hal yang perlu diketahui dari ChatGPT 69 🧵

Tentu ini akan menghemat waktu kita alih-alih menonton keseluruhan keynote selama 120 menit vs membaca threads yang mungkin tidak memakan waktu 5 menit.

Tapi apa pertanyaannya? Tunggu dulu.

Sekarang kita ke Tiktokification. Dan ya, kata itu nyata.

Tidak berbeda jauh dengan microblogging, tapi alih-alih tulisan, ini menggunakan media berbentuk video. Format ini dipopulerkan oleh sosial media bernama Tiktok/Douyin yang sekarang sudah digunakan di berbagai platform berbagi video lain seperti Shorts nya YouTube dan Reels nya Instagram.

Format video seperti ini membuat terobosan: dari penawaran video dengan resolusi berbasis vertikal sampai ke pembuatan kumpulan meme yang bisa didengar. Format video seperti ini menjadikan pengguna ponsel sebagai first-class citizen.

Dari artikel yang diterbitkan oleh Wired yang berjudul TikTok Wants Longer Videos—Whether You Like It or Not, Wired menegaskan bahwa Perusahaan (TikTok) mengetahui bahwa klip yang berdurasi lebih dari 60 detik membuat pengguna stres dan juga Hampir 50 persen pengguna yang disurvei oleh TikTok mengatakan video berdurasi lebih dari satu menit menimbulkan stres; sepertiga pengguna menonton video online dengan kecepatan ganda.

Dan yang menurut saya paling menarik adalah pernyataan bahwa kemampuan orang (pengguna TikTok) untuk berkonsentrasi terpukul, khususnya karena dibanjiri konten video dalam jumlah besar.

Tapi sekali lagi, apa pertanyaannya?

Jika sudah mengira jawabannya adalah “siapa yang butuh konten-konten tersebut”? ya, jawaban anda benar.

Saya sudah lama tidak mengikuti perkembangan terkait User Experience alias UX tapi seingat saya salah satu hal yang menjadi favorit untuk dioptimasi adalah tentang bagaimana menarik perhatian si pengguna.

Halaman “For You”, “Discover”, dan bahkan “indikator/titik merah di sebuah ikon” adalah tiga contoh yang menurut saya cukup sukses diterapkan untuk menarik perhatian si pengguna.

Dan ada satu yang sangat cocok diterapkan di sebuah “short-form video” untuk menarik perhatian si pengguna: caption/subtitle yang ditampilkan sebagai fokus utama. Ya, video dalam bentuk tersebut kebanyakan menggunakan video acak sebagai latar belakang yang tidak terlalu relevan dengan isi video secara keseluruhan.


Dalam kondisi lapar, jika melihat sepotong makanan, kemungkinan besar kita akan tergiur untuk menyantapnya. Tidak harus makanan favorit, setiap makanan seakan terlihat lezat. Jika muslim, silahkan ingat kembali saat-saat bulan Ramadhan.

Dan kita tahu, potongan-potongan tersebut tidak akan membuat kita kenyang.

Tapi ini memenuhi hasrat kita, dan mungkin bisa membantu menghilangkan rasa lapar juga. Perihal kandungan gizi, itu urusan nanti.

Kondisi ini mungkin berlaku juga dalam konsumsi informasi.

Anggap ketika sedang mengantri, kemungkinan besar, kita akan mengambil ponsel dan mencari apapun yang ada di ponsel tersebut. Proses mengantri ini bersifat blocking dan ada “kekosongan” yang bisa saja diisi. Terlepas level toleransi kebosanan yang dimiliki, secara tidak sadar kita akan mengingat sebuah aktivitas singkat yang mungkin bisa dilakukan: entah itu mengingat kembali daftar belanjaan atau mungkin membuka Instagram Reels. Tidak melakukan apapun juga termasuk sebuah pilihan.

Yang menjadi pembeda adalah jika seandainya kita kembali ke masa ketika TikTok masih menjadi sebuah ide, kita tidak pernah kepikiran bahwa video dengan durasi pendek ada. Saat mengantri, hampir jarang kita sempatkan menonton film di Netflix atau membaca artikel dari sebuah situs berita karena kita sadar bahwa waktu yang ada tidak mencukupi.

Atau mungkin lebih tepatnya: konsentrasi yang diperlukan tidak sebanding untuk melakukan peralihan konteks.

Jika sekarang? Tonton 4 video reels dalam 1 menit dan tidak perlu memusingkan apa yang sudah ditonton.

Yang penting mengisi kekosongan.


Saya tidak terlalu yakin dengan dampak dan/atau korelasinya antara “konten short-form” dan “konsentrasi” tapi coba ingat kembali artikel yang diterbitkan oleh Wired sebelumnya.

Maksud saya adalah jika menonton video berdurasi semenit atau lebih membuat konsentrasi terpukul, kemana sebenarnya konsentrasi tersebut? Saat membaca novel, saya sibuk menerjemahkan paragraf demi paragraf ke sesuatu yang bisa saya bayangkan. Saat menonton film, saya sibuk memahami alur dan dialog untuk memahami cerita secara keseluruhan tersebut.

Tapi apa yang sebenarnya saya lakukan saat melihat video dari Instagram Reels lalu menontonnya sampai habis atau melewatkannya di pertengahan pemutaran?

Apa yang sebenarnya saya cari?

Ada 3 buku tertumpuk diatas meja dekat kasur saya: The Psychology of Money nya Morgan Housel, Ikigai nya Hector Garcia & Francesc Miralles serta The Alchemist nya Paulo Coelho. Ketiga buku tersebut baru saya baca sebagiannya, dan hanya Tuhan yang tahu kapan saya mengambil apa.

Disamping tumpukan buku, ada sebuah iPad.

Saya selalu merasa tidak memiliki cukup waktu untuk membaca bagian per bagian isi buku, tapi selalu merasa memiliki cukup waktu untuk membuka aplikasi Instagram, X dan Mastodon. Khususnya di iPad.

Beberapa mungkin sudah tahu bahwa ada sesuatu bernama Dopamine Detox yang bahkan dibahas di situs kesehatan lokal seperti Alodokter dan Halodoc. Stimulus digital bahkan disebut yang mungkin adalah sesuatu juga.

Sebagai penutup, saya pribadi tidak menganggap bermain sosial media adalah sesuatu yang harus dihindari, kecuali dalam konteks privasi dan informasi khususnya dalam dunia digital. Saya senang mendapatkan kabar dari orang-orang yang terhubung ke jaringan internet, dan juga saya terkadang (sering) membagikan sesuatu yang tidak bernilai (shitposting/trashposting) ke internet. Internet adalah tempat yang menyenangkan untuk beberapa orang!

Tapi saya tidak menyukai informasi yang berbentuk “bite sized” karena alasan pribadi. Mungkin informasi tersebut bermanfaat, dibutuhkan, atau menghibur. Video berdurasi 15 detik tidak akan membuat ekonomi terguncang pada akhirnya.

Dan saya merasa ini menganggu cara saya bertindak, khususnya dalam berkonsentrasi alias memusatkan pikiran. Yang membuatnya menyebalkan adalah karena pola ini berulang, terus berulang, sampai menjadi terbiasa. Sehingga saat dihadapkan dengan sesuatu yang membutuhkan konsentrasi lebih lama, saya mudah terganggung.

Karena merasa tidak terbiasa.

Berdasarkan laporan Screen Time untuk Minggu ini (Minggu-Selasa) saya menghabiskan waktu di Instagram selama 4 jam 10 menit. Jika rata-rata video yang saya tonton di Instagram berdurasi 30 detik, setidaknya saya sudah menonton 482 video atau 160 video per hari selama 3 hari. Bagian menariknya? Bahkan saya tidak ingat apa saja yang saya tonton. Apakah menyenangkan? Mungkin iya, pada saat itu.

Saya bukanlah orang yang “gila produktivitas”, tidak ada aplikasi produktivitas di perangkat saya selain Things (fuck Apple Reminders), iA Writer (fuck Apple Notes) dan Raycast (fuck Spotlight). Tidak ada rutin, tidak ada pomodoro, atau mungkin tidak ada semangat hidup.

Konsentrasi saya rasa adalah kebutuhan pokok untuk semua orang, bukan sesuatu yang hanya dimiliki oleh outliers; productivity guy, atau apapun itu yang biasanya digambarkan sebagai kesuksesan.

Dan tahu apa yang tiba-tiba saya ingat ketika shalat alih-alih khusyuk dan melakukan apa yang harus dilakukan? Cuplikan video gedagedigedagedo.

Juga, apakah saya sekarang menjadi lebih tidak sabaran atau karena pengaruh tinggal di Jakarta yang serba ingin bergerak cepat?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *